Setu Babakan, 23 Agustus 2013 10.38 PM
Tadi siang nonton wideshot metro tv ada kisah tentang orang-orang yang tinggal di pinggir rel KRL , tentang Pak Sodik yang memilih untuk tinggal dengan kedua anak dan istrinya di tempat yang dianggapnya rumah, padahal itu hanya terpal yang ditempelkan ke sebuah pagar tembok dan kayu sebagai salah satu tiangnya. Tidak perlu sampai menunggu narator membacakan asal Pak Sodik, dari cara dia bicara dan dari bahasa yang dia gunakan. Pasti. Saya langsung bisa menebak kalau bapak itu berasal dari Brebes, Tempat yang sama dimana saya berasal.
Sehari-hari Pak Sodik menjual sayur di pasar yang terletak (juga) di pinggir Rel. Sedih melihat bapak dan anak-anaknya berjalan diatas rel tanpa alas kaki dengan badan yang sepertinya jarang mandi. lusuh dan kumal.
"Kalau bisa memilih aku lebih suka jadi petani, pulang ke kampung dan menanam bawang atau kalau aku punya uang lebih aku ingin tinggal di kontrakan yang lebih layak" Kata Pak Sodik. Bahasa Indonesia-nya kerap dicampur dengan bahasa Brebes yang "Ngapak". Ketika ditanya apa bapak tidak takut tinggal di pinggir rel yang berbahaya Bapak itu menjawab " kenapa takut, udah terbiasa. anak-anak aja ngga takut" dia tersenyum tapi saya merasa getir. KRL baru saja lewat dan rambut kemerahan anak-anak Pak Sodik yang digarang matahari tertiup angin. Sering pengen membentuk suatu komunitas yang mengajar anak-anak itu, mengajari membaca atau sekadar mendongeng, tapi bingung mulai dari mana.
Melihat mereka saya sedih sekaligus bersyukur, sedih karena selama 68 tahun Indonesia merdeka, kesejahteraan warga-nya hanya dapat dirasakan oleh kalangan tertentu. Bersyukur kerena saya bisa sekolah sampai setinggi ini, salah satu pencapaian tertinggi di keluarga saya.
Setiap melihat kisah-kisah mereka yang kurang beruntung, saya selalu tergelitik ingin melakukan sesuatu yang lebih, kerja bakti untuk ikut membantu negara ini. tapi apa? kadang saya merasa merasa ini pikiran gila yang hanya bisa saya ucapkan tanpa melakukan apa-apa. Hanya sesumbar tanpa wujud nyata. Melihat teman saya yang sekarang jadi aktivis saya merasa kecil. Dia bisa melakukan sesuatu untuk masyarakat. Mengapa saya tidak? Apa yang saya bisa baktikan untuk negeri ini?
Suka mikir pengen jadi pengajar muda yang siap ditempatkan dimana saja selama satu tahun untuk mengajar di sekolah-sekolah di pelosok Indonesia, tapi mengingat saya punya beberapa tanggung jawab sebagai seorang anak kepada orang tuanya, saya jadi mikir lagi. Rasanya cukup dilematis mengabdi untuk negeri tapi melupakan bakti pada orang tua. Duh...
Waktu itu sempat senang pengen ikut Kelas Inspirasi yaitu kegiatan yang mewadahi para profesional pendidikan dari berbagai sektor yang telah sukses untuk ikut berkontribusi yang nyata dan aktif dalam perbaikan pendidikan di Indonesia. Jadi para profesional itu masuk ke sebuah SD dan mengajar disana selama satu hari untuk menginspirasi siswa-siswi agar termotivasi untuk memiliki mimpi yang besar. Kelas Inspirasi hanya butuh waktu satu hari, tidak satu tahun seperti pengajar muda tapi harapan langsung luruh pas baca syaratnya kalau mau gabung jadi pengajar Kelas Inspirasi yaitu harus bekerja di bidangnya minimal dua tahun. Lha saya? Baru 7 bulan!! saya membutuhkan 17 bulan lagi untuk bisa ikut jadi pengajar KI.
"Ngga marah-marah sama pasien aja sudah cukup" kata seseorang kepada saya, saat saya mengeluhkan gimana caranya berbuat sesuatu untuk Indonesia. Jadi bidan memang profesi yang mulia tapi saya selalu merasa kalau jadi bidan adalah lahan saya untuk mencari materi walaupun bagi sebagian orang "mulia" juga bisa diartikan sebagai tabungan di akhirat, entah naluri saya selalu menentang untuk itu. Padahal dengan modal saya yang itu saya bisa jadi ujung tombak untuk menurunkan Angka Kematian Ibu dan bayi dan PR terbesar saya adalah menjadi bidan yang bener-bener bidan dengan memiliki kompetensi selayaknya bidan, Bidan Sungguhan. Tapi.. (lagi-lagi) saya benar-benar pengen ngajar, pengen mendongeng, pengen membantu "anak-anak" Pak Sodik yang lain mengajari mereka matematika sederhana dan ikut dalam wujud nyata mencerdaskan kehidupan bangsa.. bagaimana saya harus memulainya?
"Ngga marah-marah sama pasien aja sudah cukup" kalimat itu berdengung-dengung dikepala saya, nampaknya saya harus lebih realistis.
2 komentar:
aku setuju dg santi. Bukan krn mau ikut2an, tp memang itulah yg aku rasakan dan yg terbersit dlm pikiranku. Sama persis. Terlebih setiap kali aku menonton acara di TV NET. 'Pelosok Negeri', klo ga salah. Cerita ttg guru2 bersahaja yg mampu mengajar para muridnya yg kurang mampu di pelosok sana. Sempat dulu aku+sahabatku ingin mengajar/membantu di slh satu panti asuhan ataupun mengajar serabutan di kelas anak jalanan, lagi2 itu terbentur oleh alasan. Ya mungkin alasan yg dibuat2, tp aku tidak mungkin menutup mata dg alasan itu krn berhubungan tepat dg orangtuaku. Tdk mungkin bagiku melakukan sesuatu tp membangkang mereka. Org terdekatku yg selalu mengatakan u/ mengabdi sbg bidan. Lagi2 sama seperti yg santi rasakan. Dilema sungguh. Di kala hati berbicara lain dg kenyataan, tp mungkin emang sudah jalan takdir dr Tuhan. Jujur, aku mencoba menerima, walau terkadang terselip keluhan di sana.
kalau tujuan kita sama gimana kalau kita bekerja bersama ka? ^^
Post a Comment