Aku ingin semuanya berakhir dengan baik-baik,” ujarnya.
Aku tersenyum, ada yang tersengat di tubuhku. Bahkan terasa seperti
memantik api, hanya saja hanya menjadi percik-percik. Tidak menyala,
karena kadar air tubuhku cukup tinggi. Konon airlah yang mengalahkan
api. Maka, kalimat yang memantik api pun padam.
Terus terang kalimat ini menurutku sangat gagah berani. Meluncur
tanpa getar, lantang, dan lepas. Aku merasa, betapa luar biasanya
perempuan ini. Jauh dari yang kuduga. Di balik tubuhnya yang mungil,
wajahnya yang innocent, ternyata menyala keberanian yang tak dinyana.
“Aku ingin, silaturahmi kita akan terus terjalin…” ucapnya lagi, setelah hening beberapa saat menguasai ruang.
Lagi, aku tersenyum. Hanya menarik ujung bibir. Masih tidak percaya,
perempuan ini punya daya mengungkapkan kata-kata itu tanpa beban. Seolah
tak terjadi apa pun di antara aku dan dia. Padahal, sesuatu yang
dahsyat telah terjadi dan melemparkanku ke tempat berantah sebagai
makhluk terlemah yang hancur, lepas tulang dari persendian, lepas akal
dari pikiran, lepas daya dari kekuatan yang ada.
Aku bukan makhluk mutan yang dengan mudah menyatu, merekonstruksi
diri, kembali seperti sedia kala dengan sangat singkat. Menjadi sempurna
seperti sebelumnya. Sebagai manusia, bangun dari keterpurukan itu perlu
daya. Untuk kembali gagah itu butuh energi. Memang ada yang bisa
bangkit sendiri, tapi tidak banyak. Banyak yang terpuruk lama tak
kunjung berdaya, terperangkap dalam galau yang panjang, sambil
pelan-pelan menutup luka yang tak terlihat. Luka hati, luka rasa, luka
karena cinta…
Hmm…
Setahuku, mencintai itu tak akan menyakiti. Tidak mungkin melukai
juga tidak mungkin merusak rasa orang yang dicintainya. Itu ukuran
sederhana yang aku tahu. Logika yang tidak rumit dan tidak berbelit.
Kalau yang terjadi sebaliknya, tentu aku boleh dong bertanya, benarkah
dia mencintaiku? Kalau iya, kenapa dia menyakitiku? Membuat luka hati
begitu dalam pada orang yang ‘katanya’ dicintai?
Mendadak mataku menatap sebuah tulisan kecil pada sebuah stiker yang
tertempel di kaca, tak jauh dari tempatku duduk. Tulisannya kecil, tapi
aku berusaha dengan paksa untuk membacanya. Ya, membacanya sambil
mendengarkan perempuan di depanku terus bicara. Orang yang mulia adalah ketika dia disakiti dan punya kesempatan membalasnya, tapi dia tidak melakukannya.
Aku menunduk. Bertarung dalam dadaku keras sekali. Emosi yang terus
teraduk, keruhnya meledek kebeningan di sisi lainnya. Mengejek
kejernihan di tepian hatiku. Kata-kata mengalir deras, tetap dengan
gagah dan bertenaga. Seperti tidak terjadi apa-apa. Sementara aku
meraba-raba, mengukur diri, sebenarnya aku ini bodoh atau sedang menuju
kemuliaan itu. Mulia untuk tidak membalas walau punya kesempatan, walau
tampak bodoh karena tak berharga diri sebagai laki-laki. Entahlah…
Sampai ujung pertemuan, aku hanya bisa diam, membatin kecil, “Semua
baru mulai, cerita ini belum selesai…” Ya, cerita ini belum selesai,
luka itu terlalu dalam…
*terinspirasi tuturan seseorang di saung…
Repost dari Blog Kang Taufan